BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Masuk ke dalam lingkungan sekolah baru bagi seorang pelajar ternyata tidak selalu menyenangkan, malah sebaliknya bisa membuat stress, cemas dan takut. Bayangan terjadinya tindak kekerasan saat masa orientasi (MOS) dan sesudahnya kerap menjadi momok bagi siswa baru, bahkan di sekolah-sekolah tertentu seorang pelajar baik-baik bisa dipaksa menjadi salah satu “prajurit” tawuran!
Tawuran pelajar adalah modus baru kejahatan di kota-kota besar. Mereka bergerombol/ berkumpul di tempat-tempat keramain (halte, mall-mall, jalan-jalan protocol) siap mencari lawannya, tetapi tak jarang sasaran mereka justru pelajar sekolah yang tidak pernah ada masalah dengan sekolahan mereka. Dengan berpura-pura menanyakan nama seseorang yang mereka cari, dengan beraninya merampas atau meminta uang dengan paksa kepada pelajar yang mereka temui. Dengan berbekal senjata tajam, gier, rantai, alat pemukul mereka siap mencari sasaraan dan melakukan tindak kekerasan.
Para pelajar ini menurunkan kebiasan buruknya kepada adik-adik kelasnya, sementara mereka sudah naik satu jenjang menjadi mahasiswa. Dengan berbekal pengalaman tawuran ini, jadilah mahasiswa yang memiliki bibit-bibit kekerasan. Dengan perkembangan aktivitas kampus, maka mereka-mereka kerap mendompleng nama reformasi untuk bisa berbuat tindak kekerasan dan memicu terjadinya konflik dengan aparat keamanan.
Seperti yang terjadi akhir-akhir ini, mahasiswa tawuran bukan saja antar kampus tetapi terjadi juga di dalam satu kampus. Ini bisa terjadi karena kebiasaan buruk mereka sebelum menjadi mahasiswa. Bibit-bibit kekerasan sudah tertanam begitu dalam sebelum mereka melangkah kejenjang mahasiswa.
Kembali lagi kepada latar belakang, mengapa pelajar begitu mudah untuk melakukan tindak kekerasan tawuran, inilah penyimpangan-penyimpangan yang tumbuh subur pada diri para pelajar. Mereka beralasan karena solidaritas pertemanan, di sinilah kekeliruan awal yang harus cepat dibetulkan sehingga tidak berkembang menjadi suatu kebutuhan untuk melakukan tawuran ini. Remaja atau generasi muda berada dalam dua paradigma yang saling bertolak belakang. Di satu sisi remaja dianggap sebagai usia potensial di mana mereka mempunyai kelebihan energi, berpikir tanggap, tangkas dan bermotivasi kuat. Di satu sisi masa remaja diasosiasian sebagai sumber keributan, sumber pemasalahan sosial, dan pertikaian.
Anak-anak pelajar adalah remaja harapan bangsa, yang akan menggantikan para pemimpin bangsa ini. Peran sekolah, lingkungan, orangtua dan pemerintah merupakan satu kesatuan yang harus bertanggung jawab dan bekerjasama dengan baik untuk menanggulangi ini semua. Dengan adanya kerjasama, baik lingkungan pendidikan, orangtua dan pemerintah akan memberikan solusi untuk pemecahan masalah ini. Lingkungan pendidikan agar selalu menekankan sekolah-sekolah untuk berkomunikasi aktif dengan orang tua siswa dan pemerintah sendiri agar bekerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan untuk membuat kebijakan-kebijakan dan melaksanakannya dengan sungguh-sungguh dan selalu melakukan evaluasi secara kontinyu tentang pelaksanaan dari kebijakan itu.
Muhaimin (2001) menilai bahwa terjadinya tawuran antar pelajar, tindakan kekerasan, konsumsi minuman keras dan narkotika, kebut-kebutan di jalan raya dan sebagainya, yang terjadi hampir setiap hari dan selalu di jadikan sebagai berita utama di media massa disebabkan karena kegagalan sistem pendidikan, termasuk pendidikan agama yang hanya menekankan aspek kognitifnya saja.
What wrong with our education? Bukankah pada hakekatnya pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia? Betulkah pendidikan merupakan proses dan pencerahan hidup generasi muda? Kenapa tawuran/ kekerasan bisa terjadi?
Djohar (2003:4) menganggap bahwa pendidikan kita telah kehilangan objektifitasnya. Saat ini sekolah tidak dijadikan sebagai tempat anak melatih diri, menampilkan dirinya untuk berbuat sesuatu, dan mendapat koreksi bahwa ia salah atau benar, berbuat baik atau jelek, akan tetapi sekolah dijadikan sebagai 'panggung pentas' untuk memperoleh juara. Lebih lanjut beliau memaparkan bahwa kenakalan anak yang tidak ditampilkan pada usianya sehingga ia menunda kenakalan itu diwaktu usia lebih tua, yang akhirnya lahirlah pola tawuran antar pelajar, yang lebih sulit mengatasinya.
Sementara itu, Mulyasa (dalam Madjid dan Andayani, 2004:V) mengungkapkan bahwa prilaku kekerasan... menunjukkan bahwa rapuhnya moral dan spritual bangsa. Hal tersebut mengesankan manusia Indonesia hidup dengan hukum rimba ditengah hutan belantara kota.
Pada dasarnya, kita tidak dapat keluar dari konflik. Karena konflik selalu hadir dalam setiap relasi antar manusia. Dimanapun, kapanpun dan oleh siapapun. Bahkan dalam kehidupan pribadi sekali pun, konflik selalu ada. misalnya konflik antara isi pikiran dan hati. Sebab itu, kehadiran konflik sesungguhnya menjadi sangat wajar, alami, dan justru harus diterima sebagai realitas.
Menjadi sebuah pertanyaan besar bagi kita adalah bagaimana konflik tersebut di jalani secara positif? Konflik tidak harus dimaknai sebagai pertikaian, permusuhan, tetapi juga mengandung makna kompetisi, tegangan, atau sekedar ketidak sepahaman. (baca: Lubis, "Konflik tanpa Kekerasan", Pelita: 13 Maret 2002).
Namun kenyataanya, kita tidak pernah terlatih bagaimana menyikapi konflik tersebut terlebih pemecahan konflik. Kita sering menyikapi dan menyelesaikan konflik dengan satu cara, yakni cara kekerasan (Djohar, 2003: 10).
BAB II
PEMBAHASAN
SEBAB-SEBAB TERJADINYA BENTROKAN
A. Sebab-Sebab Umum
Tindak kekerasan tak pernah diinginkan oleh siapapun, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara edukatif. Namun tak bisa ditampik, di lembaga ini ternyata masih sering terjadi tindak kekerasan. Akhir 1997, di salah satu SDN Pati, seorang ibu guru kelas IV menghukum murid-murid yang tidak mengerjakan PR dengan menusukkan paku yang dipanaskan ke tangan siswa. Di Surabaya, seorang guru oleh raga menghukum lari seorang siswa yang terlambat datang beberapa kali putaran. Tapi karena fisiknya lemah, pelajar tersebut tewas. Dalam periode yang yang tidak berselang lama, seorang guru SD Lubuk Gaung, Bengkalis, Riau, menghukum muridnya dengan lari keliling lapangan dalam kondisi telanjang bulat. Bulan Maret 2002 yang lalu, terjadi pula seorang pembina pramuka bertindak asusila terhadap siswinya saat acara camping. Selain tersebut di atas, banyak lagi kasus kekerasan pendidikan masih melembari wajah pendidikan kita.
Dalam melihat fenomena ini, beberapa analisa bisa diajukan: pertama, kekerasan dalam pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman, terutama fisik. Jadi, ada pihak yang melanggar dan pihak yang memberi sanksi. Bila sanksi melebihi batas atau tidak sesuai dengan kondisi pelanggaran, maka terjadilah apa yang disebut dengan tindak kekerasan. Tawuran antarpelajar atau mahasiswa merupakan contoh kekerasan ini. Selain itu, kekerasan dalam pendidikan tidak selamanya fisik, melainkan bisa berbentuk pelanggaran atas kode etik dan tata tertib sekolah. Misalnya, siswa mbolos sekolah dan pergi jalan-jalan ke tempat hiburan.
Kedua, kekerasan dalam pendidikan bisa diakibatkan oleh buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Muatan kurikukum yang hanya mengandalkan kemampuan aspek kognitif dan mengabaikan pendidikan afektif menyebabkan berkurangnya proses humanisasi dalam pendidikan. Ketiga, kekerasan dalam pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan media massa yang memang belakangan ini kian vulgar dalam menampilkan aksi-aksi kekerasan. Keempat, kekerasan bisa merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan masyarakat yang mengalami pergeseran cepat, sehingga meniscayakan timbulnya sikap instant solution maupun jalan pintas. Dan, kelima, kekerasan dipengaruhi oleh latar belakang sosial-ekonomi pelaku.
Ketiga, Tawuran dari Segi Psikologis dan Sosiologis, Faktor psikologis amatlah signifikan berperan dalam hidup seorang muda. Analisis dari segi psikologis ini akan dibagi ke dalam dimensi perkembangan kognitif, moral, dan identitas.
Menurut Jean Piget, psikolog yang mengembangkan teori perkembangan kognitif, kaum muda dimasukkan dalam tahap pemikiran formal-operasional (formal-operational thought). Pada masa ini, mereka mencoba menyusun hipotesa dan menguji berbagai alternatif pemecahan masalah hidup sehari-hari. Kini, ia makin menyadari keberadaan masalah-masalah disekelilingnya. Salah satunya, bagaimana membuktikan kesetiakawanan. Konsekuensi logis sesuai perkembangan kognitifnya mengatakan supaya ia mengikuti segala aturan kelompok, walaupun aturan kelompok itu negatif, misalnya tawuran. Ini adalah salah satu bentuk uji coba pemecahan masalah mereka.
Kohlberg, psikolog yang mengembangkan teori moral, mengklasifikasikan kaum muda dalam tahap konvensional. Pada masa ini, seorang muda mulai sadar adanya tuntutan dari luar dirinya, terutama teman-temannya.. Secara lebih khusus, Kohlberg mengkelompokkan kaum muda pada tingkat perkembangan moral keempat: orientasi hukum dan ketertiban (law and order orientation). Usaha-usaha konformitas mendominasi dirinya; bagaimana ia dapat menjalankan tugas kelompoknya dengan sebaik-baiknya, walaupun itu negatif, tawuran, misalnya. Baginya, ikut tawuran adalah pertimbangan moral yang paling tepat.
Menurut teori perkembangan kepribadian Erikson, seorang muda akan memasuki masa kekaburan identitas. Ia menjadi sadar bahwa dunia yang didiaminya kompleks; jawaban-jawaban yang diperolehnya pada masa kecil kini tidak memadai. Pertanyaan who am I semakin menguat. Selanjutnya, Richard Logan, mengutarakan bahwa pada masa ini, akan ada suatu mekanisme pertahanan untuk mengurangi kecemasan yang timbul akibat kekaburan identitas, yaitu munculnya identitas negatif. Identitas negatif ini akan menjadi pelarian dan barang pengganti atas kecemasan akan kekaburan identitas yang dialaminya. Salah satu bentuk identitas negatif adalah tawuran itu.
Robert Selman, yang mengembangkan teori perkembangan penalaran sosial (social reasoning) dan interpersonal mengelompokkan kaum muda ke dalam tingkat penalaran sosial keempat, yaitu pengambilan pandangan yang dalam dan simbolis (indepth and societal-symbolic perspective thingking). Kaum muda tidak hanya mahluk individu, melainkan juga mahluk sosial. Karenanya, faktor-faktor sosiologis juga berperan signifikan dalam pembentukan pribadi seorang muda.
Kaum muda sekarang adalah jeunesse d’ore (kaum muda emas). Bila ditelusuri, kaum muda yang usianya 15-18 tahun itu lahir pada tahun 1984-1987. Pada rentang tahun itu, ORBA sedang gencar-gencarnya menjalankan program KB dengan mottonya: keluarga kecil sejahtera. Jadi, kaum muda sekarang umumnya berasal dari keluarga yang relatif kecil. Di satu sisi memang baik, tapi, mereka tidak memiliki pengalaman berinteraksi dengan banyak macam pribadi dalam keluarga. Berbeda dengan keluarga generasi sebelumnya yang bisa mencapai belasan orang dalam satu keluarga, umumnya, keluarga mereka terdiri dari empat hingga lima orang. Jadi, mereka hanya bisa berinteraksi dengan maksimal tiga hingga empat orang. Perlu diingat bahwa pendidikan keluarga amat dominan dalam pembentukkan pribadi hingga usia 12-13 tahun. Pengalaman yang miskin interaksi ini, mau tidak mau, akan berpengaruh pada ketika ia memasuki masa muda. Bisa jadi, orang muda ini belum mampu membina interaksi dan menyikapi masalah-masalah dalam interaksi sosial, sehingga berakhir pada tindakan yang tidak bijaksana, tawuran misalnya.
Mereka yang mengalami keluarga yang berantakan, misalnya orang tua yang bercerai, saudara selalu bertengkar, berperangai buruk, dsb. akan mengalami luka batin. Keberadaan luka batin ini dapat merusak pembentukan kepribadian seorang muda.
Orang muda yang menjadi fokus kali ini berstatus pelajar SMU. Selain keluarga, lingkungan yang mendominasi adalah lingkungan formal akademis di sekolah. Nyatanya, lingkungan formal akademi ini justru menekan mereka. Ahli pendidikan, J. Drost SJ mengungkapkan bahwa sebenarnya, hanya 30% siswa SMU sekarang yang benar-benar mampu engikuti kurikulum 1994. Sisanya akan keteteran. Padahal, tuntutan untuk menaati kurikulum dan mencapai prestasi yang terbaik terus menekan mereka. Tekanan ini akan terakumulasi dan dapat muncul dalam identitas negatif; salah satunya adalah meluapkan emosi dalam wujud tawuran.
Kaum muda jaman sekarang hidup di dalam masa globalisasi. Ada dua sifat menonjol dalam masa ini, yaitu keterbukaan dan kebebasan. IPTEK yang berkembang dengan begitu pesat membuat dunia yang tadinya tampak luas kini terasa sempit. Fenomena alam yang tadi dianggap magis kini terkuak dan bisa dijelaskan secara logis. Arus informasi dari yang ideal dan luhur hingga yang bejat dan porno dapat diakses oleh kaum muda dengan mudah. Kebebasan juga cenderung berlebihan sekarang. Zaman ini tepat kalau disebut zaman euphorial. Puluhan media masa lahir, dari yang bermutu tinggi hingga yang hanya mengandalkan gambar wanita berpakaian minim. Jalan dialog damai ditinggalkan, jalan pintas yaitu demonstrasi terjadi di mana-mana. Dalam masa ini, batas-batas tertentu, kebebasan diperlukan, namun, ketika kebebasan diartikan sebagai kebebasan tanpa batas, demokrasi menjadi anarkis, kedisiplinan diremehkan, nilai kebebasan jatuh. Di sisi lain, kaum muda ini belum memiliki pegangan moral yang kuat untuk menyaring informasi dan mengolah kebebasan itu. Karenanya, berbagai informasi dan pemenuhan kebutuhan yang negatif dengan mudah meracuni mereka. Budaya kekerasan yang diexpose oleh berbagai media dengan mudah berakar dalam diri mereka. Inilah titik tolak munculnya benih-benih budaya kekerasan yang akan mereka wujudkan dalam tawuran, misalnya.
Jika keseluruhan analisis di atas dirangkum, semuanya mengarah pada jiwa-jiwa yang gelisah. Gelisah karena perubahan psikologis yang belum pernah dialami sebelumnya; membingungkan sekaligus menegangkan. Gelisah karena menyadari faktor-faktor sosiologis yang kini amat terasa dalam kehidupannya.
Kasus perilaku kekerasan dalam pendidikan juga bervariasi: pertama, kategori ringan, langsung selesai di tempat dan tidak menimbulkan kekerasan susulan atau aksi balas dendam oleh si korban. Untuk kekerasan dalam klasifikasi ini perlu dilihat terlebih dahulu, apakah kasusnya selesai secara intern di sekolah dan tidak diekspos oleh media massa ataukah tidak selesai dan diekspos oleh media massa. Kedua, kategori sedang namun tetap diselesaikan oleh pihak sekolah dengan bantuan aparat, dan ketiga, kategori berat yang terjadi di luar sekolah dan mengarah pada tindak kriminal serta ditangani oleh aparat kepolisian atau pengadilan. Umumnya kasus perilaku kekerasan kategori ringan dan sedang ini terjadi di lingkup sekolah, masih berada dalam jam sekolah/ kuliah dan membawa atribut sekolah. Lingkup inilah yang akan menjadi sosotan dalam penelitian ini.
Penelitian dengan menggunakan metode deskriptif-analitis ini bertujuan membuat tipologi perilaku kekerasan dalam pendidikan di Indonesia, terutama pasca reformasi sembari mencari kondisi apa saja yang melatarbelakangi munculnya kekerasan dalam pendidikan tersebut. Sebagai tanggung jawab moral, penelitian ini juga mengusulkan kebijakan publik guna membenahi pendidikan kondisi pendidikan yang lebih humanis, sehingga mampu mencegah berlanjutnya kekerasan dalam pendidikan tersebut.
B. Kekerasan dalam Pendidikan
Untuk memotret persoalan ini, perlu ditelaah terlebih dahulu kondisi pendidikan dewasa ini, yakni kondisi internal dan kondisi eksternal. Kondisi internal merupakan faktor internal yang berpengaruh langsung bagi perilaku para pelajar/ mahasiswa beserta pendidiknya, termasuk perilaku kekerasan. Sedangkan kondisi eksternal adalah kondisi non-pendidikan yang merupakan faktor tidak langsung bagi timbulnya potensi kekerasan dalam pendidikan.
Merujuk kepada kondisi internal, sejauh ini dijumpai kesenjangan (discrepancy, gap) yang cukup dalam antara upaya pemerintah dalam memajukan pendidikan (idealitas) dengan kondisi riil yang dialami di lapangan (realitas). Diakui bahwa pemerintah telah berupaya memperhatikan masalah pendidikan nasional sejak awal kemerdekaan, era Orde Baru hingga saat ini. Pada awal Orde Baru, yakni masa Repelita I (1969-1974), jumlah realisasi pengeluaran pembangunan untuk sektor pendidikan dan kebudayaan adalah 77,7 miliar rupiah atau 8,2 % dari total biaya seluruh sektor pembangunan yang mencapai 944,6 miliar rupiah. Sedangkan jumlah realisasi bantuan proyek untuk sektor pendidikan dan kebudayaan mencapai 6,1 miliar rupiah atau hanya 2,1 % dari total bantuan proyek untuk seluruh sektor pembangunan nasional yang mencapai 288,2 miliar rupiah.
Hingga akhir Orde Baru (1998), Angka Partisipasi Kasar (APK) SD termasuk MI telah meningkat dari 111,9 % pada tahun 1995/1996 menjadi 112,4 % pada 1996/1997. Di tingkat SLTP, pada tahun 1996/1997 telah dibangun sebanyak 392 unit gedung baru (UGB) dan 6,5 ribu ruang kelas baru (RKB) yang seluruhnya setara dengan 8,9 RKB. Upaya tersebut telah berhasil meningkatkan daya tampung murid baru SLTP dari sekitar 2,6 juta orang pada tahun 1995/1996 menjadi 2,8 juta orang pada 1996/1997. Jumlah murid seluruhnya juga meningkat yaitu dari 6,9 juta pada 1995/1996 menjadi 7,6 juta pada 1996/1997. Dengan demikian APK sekolah lanjutan SLTP termasuk MTs naik dari 60,8 % pada tahun 1995/1996 menjadi 68,7 % pada tahun 1996/1997 yang berarti telah melampaui sasaran tahun ketiga Repelita VI, yaitu 60,2 %.
Di tingkat SLTA, pada 1995/1996 memiliki murid sebanyak 2,6 juta lalu meningkat pada 1996/1997 menjadi 2,8 juta. Sementara untuk SMK meningkat dari 1,7 juta menjadi 1,8 juta murid. Dengan demikian, APK SLTA meningkat dari 32,8 % pada tahun 1995/1996 menjadi 34,4 pada tahun 1996/1997. Apabila murid MA diperhitungkan, maka APK SLTA pada tahun ketiga Repelita tersebut mencapai 38,0 % yang berarti telah melampaui sasaran ketiga Repelita VI, yaitu 35,4 %.
Di tingkat Perguruan Tinggi (PT), jumlah mahasiswa meningkat dari 2,4 juta pada 1995/1996 menjadi sekitar 2,5 juta orang pada 1996/1997. Namun, karena kenaikan jumlah penduduk usia 19-24 tahun, APK PT pada tahun ketiga Repelita VI masih tetap seperti tahun sebelumnya, yaitu 10,6 %. Apabila jumlah mahasiswa PTA diperhitungkan, maka APK PT pada tahun 1996/1997 adalah 11,8 % yang berarti telah mencapai sasaran tahun ketiga Repelita VI yang juga sebesar 11,8 %.
Pun demikian, kondisi pendidikan kita saat ini sesungguhnya memprihatinkan, terutama sekali di lingkungan SD. Di Banjarmasin, ribuan gedung SD rusak berat. Di Banjarnegara, dari 722 SD yang beroperasi, sebanyak 400 bangunan di antaranya kondisinya rusak parah, sementara 4 bangunan SD sudah roboh. Sebanyak 323 SD/MI di Semarang rusak parah, dan akibat kekurangan murid, 470 SD Inpres se-Jateng di tutup. Di Yogyakarta, 30 % gedung SD rusak, sedang tiap kecamatan di Sleman kekurangan 30 guru. Kondisi demikian dialami oleh SD/MI di beberapa daerah lain.
Selain aspek bangunan, kondisi guru dan murid juga belum menggembirakan. 50 % guru SD yang ada masih di bawah standar, sejumlah 99.033 guru SD di bawah D-2. Alokasi dana yang dianggarkan oleh pemerintah teramat kecil bila dibandingkan dengan kondisi yang ada, apalagi bila ditilik perbandingannya dengan negara lain. Angka drop out juga tinggi. Tercatat sebanyak 15.000 lulusan SD-SLTP di Kabupaten Grobogan tahun pelajaran 2002/2003 diperkirakan tak bersekolah melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, di antaranya disebabkan karena pernikahan dini. Sebab ekonomi juga berpengaruh. Sedikitnya 275 anak di Sleman, Yogyakarta, pada tahun 2001 putus sekolah karena kesulitan biaya. Sementara itu, sejumlah 839.645 anak usia sekolah di Jateng terlantar, tidak bisa meneruskan sekolah karena miskin.
Kondisi kesehatan anak sekolah juga memilukan. Di Sidoarjo, berdasarkan penelitian Diskes terhadap siswa-siswi SD/MI dengan sampel berjumlah 350 SD/MI, pada 1993 sebanyak 52,3 % siswa menderita kekurangan yodium, lalu meningkat drastis pada 2002 menjadi 75,6 %. Menurut ahli asma anak, dr Noenoeng Raharjoe, berdasarkan survei dari Aceh hingga Manado, ditemukan fakta bahwa satu dari enam anak SD menderita penyakit asma. Secara umum, di kebanyakan sekolah juga rawan terjangkit Demam Berdarah. Bahkan terjadi puluhan siswa SD Demangan 01 Kota, Madiun, mengalami keracunan setelah minum susu PMTAS (Program Makanan Tambahan Anak Sekolah). Selain itu, di Kulon Progo, Yogyakarta, 54 SMUN 1 Temon yang diduga terjangkit Hepatitis A akan dibekali kaporit. Sementara di Pacitan, dijumpai 50 % pelajar menderita anemia.
Di lingkungan sekolah menengah, baik SLTP maupun SMU juga mengalami nasib tak jauh beda. Di Yogyakarta, 28 % lulusan SLTA menganggur. SMU Negeri maupun Swasta minus siswa. Di Magelang, lulusan SLTP yang melanjutkan ke SMU maupun SMK hanya 51 %. Jumlah pendaftar Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) di UNS Solo tahun ini juga menurun.
Sedangkan kondisi eksternal terutama tampak dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat, di mana pelaku pendidikan berada di dalamnya. Sejauh ini masalah narkoba, pornografi, miras, dan pergaulan bebas, serta tindak kriminal, merupakan masalah sosio-kultural yang sebagian ditemukan melibatkan pelaku yang terkait dengan simbol dan citra pendidikan.
Selama empat tahun terakhir, angka kejahatan narkoba di Indonesia naik signifikan 90 %, dari 958 kasus pada 1998 menjadi 3.617 kasus pada 2001. Penggunanya bukan lagi masyarakat umum, namun juga kalangan mahasiswa dan pelajar. Peredaran narkoba ini bahkan telah merambah ke kalangan pelajar SLTP dan SD. Di Bogor, 16 siswa SLTP dipecat karena terbukti mengkonsumsi narkoba. Sementara itu di Yogya ditemukan indikasi bahwa pemakaian narkotika ini sudah masuk ke SD.
Hal yang sama juga terjadi pada tayangan pornografi. Pornografi merupakan tantangan besar bagi masyarakat dan pendidikan. Sebab, bila pornografi dibiarkan, akan merusak moral rakyat, membuka peluang perkosaan, dan pernikahan dini. Masalah pergaulan bebas juga menjadi masalah krusial dalam pendidikan kita, terutama bagi pelajar dan mahasiswa. Menurut Romli Atmasasmita, menjadi preman bukanlah karena turunan orang tua, melainkan melalui proses pergaulan ini. Beberapa penelitian mengenai pergaulan bebas ini telah diungkap secara langsung, di antaranya adalah penelitian tentang virginitas para mahasiswa Yogyakarta yang dipublikasikan pada Agustus 2002 yang lalu, terlepas dari polemik dan kontroversi yang muncul mengenai penelitian ini. Paling tidak, penelitian tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran pola pergaulan di kalangan pelajar dan mahasiswa, ke arah yang lebih bebas. Kekerasan dalam pendidikan bisa dipengaruhi secara tidak langsung oleh kondisi eksternal ini.
C. Tipologi Kekerasan dalam Pendidikan
Menurut Jack D. Douglas dan Frances Chalut Waksler, istilah kekerasan (violence) digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik secara terbuka (overt) maupun tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) maupun bertahan (defensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain.
Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa indikator kekerasan: pertama¸ kekerasan terbuka yakni kekerasan yang dapat dilihat atau diamati secara langsung, seperti perkelahian, tawuran, bentrokan massa, atau yang berkaitan dengan fisik. Sebagai contoh adalah kasus pengeroyokan 4 siswa SMKI terhadap temannya Suharyanyo (17 tahun), siswa kelas tiga SMKI yang dianiaya hingga meninggal karena alasan dugaan penipuan order mendalang. Kedua, kekerasan tertutup yakni kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan secara langsung, seperti mengancam, intimidasi, atau simbol-simbol lain yang menyebabkan pihak-pihak tertentu merasa takut atau tertekan. Ancaman dianggap sebagai bentuk kekerasan¸ sebab orang hanya mempercayai kebenaran ancaman dan kemampuan pengancam mewujudkan ancamannya. Misalnya, kasus demonstrasi mahasiswa menolak SK Rektor UGM Yogyakarta tentang Biaya Operasional Pendidikan atau BOP, kedua belah pihak saling mengancam. Di satu sisi, pihak UGM akan melakukan sweeping KTP para demonstran, di pihak lain, mahasiswa mengancam akan melakukan demo besar-besaran.
Ketiga, kekerasan agresif (offensive) yakni kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu seperti perampasan, pencurian, pemerkosaan atau bahkan pembunuhan. Indikator kekerasan ini sudah masuk prilaku kriminal, di mana pelakunya dapat dikenakan sanksi menurut hukum tertentu. Contohnya kasus pembobolan di Universitas Jember, pencabulan terhadap siswa SD atau SLTP, atau penembakan guru SD hingga tewas. Keempat, kekerasan defensif (defensive) yakni kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan, seperti barikade aparat untuk menahan aksi demo lainnya. Sengketa tanah warga dengan pihak sekolah, merupakan contoh yang relevan.
Dari sisi tingkat (level) kekerasan, intensitas suatu kekerasan bisa meningkat dari kekerasan ringan atau potensi menjadi kekerasan tingkat sedang bahkan dapat berlanjut pada kekerasan tingkat berat, berupa tindak kriminal dalam pendidikan. Kekerasan disebut dalam bentuk potensi, bilamana memiliki indikator sebagai berikut: bersifat tetutup, berupa unjuk rasa untuk menyampaikan aspirasi, pelecehan nama baik seseorang, dan ancaman atau intimidasi. Bila kekerasan tertutup berubah menjadi konflik terbuka, unjuk rasa berubah menjadi bentrok, ancaman berubah menjadi tindakan nyata, dan kekerasan defensif menjadi ofensif, maka saat itu juga potensi berubah menjadi kekerasan.
Meski demikian, kekerasan dalam pendidikan tidak selalu terjadi secara berurutan dari potensi (ringan), menjadi kekerasan (sedang), lalu tindak kriminal (berat). Bisa saja kekerasan yang berlangsung hanya sampai pada potensi saja, tidak berlanjut ke tingkat atasnya. Kadang terjadi kekerasan berbentuk tindak kriminal, tanpa didahului oleh potensi maupun kekerasan sebelumnya. Akan tetapi penelitian ini ditemukan bahwa pada kasus tertentu kekerasan ringan berlanjut menjadi kekerasan sedang, bahkan menjadi tindak kriminal.
Dari 6 surat kabar yakni Bernas, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Republika, Kompas, Suara Merdeka, yang dipilih secara acak (random sampling), ditemukan sebanyak 71 kasus potensi kekerasan atau tingkat ringan yang umumnya terjadi karena sebab tertentu yakni: masalah sistem Penerimaan Siswa Baru (PSB), masalah kenaikan biaya pendidikan, masalah demokratisasi dan transparansi, penyelenggaraan pendidikan, terutama di lingkungan kampus, masalah lingkungan dan sosial, masalah yang muncul secara spontan karena adanya momen tertentu, dan masalah lainnya.
Sedangkan kekerasan dalam kategori sedang, dalam penelitian ini, ditemukan 93 kasus yang sebagian besar muncul secara langsung tanpa didahului oleh kekerasan sebelumnya. Kasus ini berupa kekerasan antar pihak sekolah, kekerasan antar pelajar/mahasiswa, kasus kekerasan guru terhadap siswa dan sebaliknya, kekerasan pelajar terhadap guru, kasus kekerasan mahasiswa terhadap masyarakat dan sebaliknya, kekerasan masyarakat terhadap siswa.
Adapun kasus kriminalitas dalam pendidikan (tingkat berat) biasanya berkutat pada pencabulan, penculikan, pencurian, bahkan aksi pembunuhan. Siswi SD dan SLTP termasuk yang sering menjadi korban pencabulan yang acap kali dilakukan oleh pelaku yang sudah dikenal atau dekat. Sedang kasus penculikan dilakukan karena motif tertentu seperti permintaan uang tebusan. Aksi pencurian juga mewarnai kekerasan masyarakat kepada pihak sekolah/kampus. Sementara tindak kriminal berupa pembunuhan sebagaimana menimpa guru di Aceh yang mencapai 200 kasus dengan 50 korban meninggal dan 100 lainnya mengalami cacat fisik permanen dan kehilangan tempat tinggal karena rumahnya terbakar. Di kalangan pelajar dan mahasiswa, bentuk tindak kriminal yang sering terjadi adalah peredaran dan konsumsi narkoba sebagaimana yang terjadi di Sleman dan Yogyakarta.
SOLUSI PERMASALAHAN
A. Humanisasi Pendidikan
Mengingat bahwa pendidikan adalah ilmu normatif, maka fungsi institusi pendidikan adalah menumbuh-kembangkan subyek didik ke tingkat yang normatif lebih baik, dengan cara/jalan yang baik, serta dalam konteks yang positif. Disebut subyek didik karena peserta didik bukan merupakan obyek yang dapat diperlakukan semaunya pendidik, bahkan seharusnya dipandang sebagai manusia lengkap dengan harkat kemanusiannya.
Menurut Freire, fitrah manusia sejati adalah menjadi pelaku atau subyek, bukan penderita atau obyek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindasnya. Dunia dan realitasnya bukan “sesuatu yang ada dengan sendirinya”, dan karena itu “harus diterima menurut apa adanya”, sebagai suatu takdir atau nasib yang tak terelakkan. Manusia harus menggeluti dunia dan realitas dengan penuh sikap kritis dan daya cipta, dan itu berarti manusia mampu memahami keberadaan dirinya. Oleh karena itu, pendidikan harus berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri, dan harus mampu mendekatkan manusia dengan lingkungannya.
Adanya beberapa bentuk kekerasan dalam pendidikan yang masih merajalela merupakan indikator bahwa proses atau aktivitas pendidikan kita masih jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah urgensi humanisasi pendidikan. Humanisasi pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan generasi yang cerdas nalar, cerdas emosional, dan cerdas spiritual, bukan menciptakan manusia yang kerdil, pasif, dan tidak mampu mengatasi persoalan yang dihadapi.
Dari beberapa literatur pendidikan, ditemukan beberapa model pembelajaran yang humanistik ini yakni: humanizing of the classroom, active learning, quantum learning, quantum teaching, dan the accelerated learning.
Humanizing of the classroom ini dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah yang otoriter, tidak manusiawi, sehingga banyak menyebabkan peserta didik putus asa, yang akhirnya mengakhiri hidupnya alias bunuh diri. Kasus ini banyak terjadi di Amerika Serikat dan Jepang. Humanizing of the classroom ini dicetuskan oleh John P. Miller yang terfokus pada pengembangan model “pendidikan afektif”. Pendidikan model ini bertumpu pada tiga hal: menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah, mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran. Perubahan yang dilakukan tidak terbatas pada substansi materi saja, tetapi yang lebih penting pada aspek metodologis yang dipandang sangat manusiawi.
Active learning dicetuskan oleh Melvin L. Silberman. Asumsi dasar yang dibangun dari model pembelajaran ini adalah bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan sebagian besar pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari.
Dalam active learning, cara belajar dengan mendengarkan saja akan cepat lupa, dengan cara mendengarkan dan melihat akan ingat sedikit, dengan cara mendengarkan, melihat, dan mendiskusikan dengan siswa lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat, diskusi, dan melakukan akan memperoleh pengetahuan dan ketrampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus adalah dengan mengajarkan. Belajar aktif merupakan langkah cepat, menyenangkan, dan menarik. Active learning menyajikan 101 strategi pembelajaran aktif yang dapat diterapkan hampir untuk semua materi pembelajaran.
Adapun quantum learning merupakan cara pengubahan bermacam-macam interaksi, hubungan dan inspirasi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar. Dalam prakteknya, quantum learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar dan neurolinguistik dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu. Quantum learning mengasumsikan bahwa jika siswa mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu akan mampu membuat loncatan prestasi yang tidak bisa terduga sebelumnya. Dengan metode belajar yang tepat siswa bisa meraih prestasi belajar secara berlipat-ganda. Salah satu konsep dasar dari metode ini adalah belajar itu harus mengasyikkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih besar dan terekam dengan baik.
Sedang quantum teaching berusaha mengubah suasana belajar yang monoton dan membosankan ke dalam suasana belajar yang meriah dan gembira dengan memadukan potensi fisik, psikis, dan emosi siswa menjadi suatu kesatuan kekuatan yang integral. Quantum teaching berisi prinsip-prinsip sistem perancangan pengajaran yang efektif, efisien, dan progresif berikut metode penyajiannya untuk mendapatkan hasil belajar yang mengagumkan dengan waktu yang sedikit. Dalam prakteknya, model pembelajaran ini bersandar pada asas utama bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkanlah dunia kita ke dunia mereka. Pembelajaran, dengan demikian merupakan kegiatan full content yang melibatkan semua aspek kepribadian siswa (pikiran, perasaan, dan bahasa tubuh) di samping pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya, serta persepsi masa mendatang. Semua ini harus dikelola sebaik-baiknya, diselaraskan hingga mencapai harmoni (diorkestrasi).
The accelerated learning merupakan pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar dari pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung secara cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik konsep ini, Dave Meier menyarankan kepada guru agar dalam mengelola kelas menggunakan pendekatan Somatic, Auditory, Visual, dan Intellectual (SAVI). Somatic dimaksudkan sebagai learning by moving and doing (belajar dengan bergerak dan berbuat). Auditory adalalah learning by talking and hearing (belajar dengan berbicara dan mendengarkan). Visual diartikan learning by observing and picturing (belajar dengan mengamati dan mengambarkan). Intellectual maksudnya adalah learning by problem solving and reflecting (belajar dengan pemecahan masalah dan melakukan refleksi).
Bobbi DePorter menganggap accelerated learning dapat memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik dan kesehatan emosional. Namun semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif.
Dalam Islam, paradigma pendidikan yang dipakai adalah persenyawaan antara anthropocentris dan theocentris. Artinya proses perkembangan moral manusia itu didasari nilai-nilai islami yang dialogis terhadap tuntutan Tuhan, tuntutan dinamika sosial, dan tuntutan pengembangan fitrah lebih cenderung kepada pola hidup yang harmonis antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, serta kemampuan belajarnya disemangati oleh misi kekhalifahan dan penghambaan.
Nilai-nilai kemanusiaan berakar pada penciptaan manusia. Manusia tercipta sebagai makhluk dinamis yakni manusia terus menerus berkembang dan berubah setiap saat. Berdasarkan tesis ini, maka nilai-nilai kemanusiaan juga mengalami perkembangan dan perubahan pula. Nilai-nilai kemanusiaan itu berubah sejalan dengan perubahan waktu. Berubah berarti mengalami pergeseran, yaitu bergeser dari satu tahapan menuju ke tahapan yang lain, dari satu tingkatan menuju ke tingkatan berikutnya.
Dimensi theocentris (hablun min Allâh) dan anthropocentris (hablun min al-nâs) adalah dua dimensi bagaikan dua sisi mata uang. Kesalehan seseorang kepada Tuhan tidaklah dianggap cukup jika tidak disertai dengan kesalehannya kepada sesama manusia dan makhluk lainnya. Dengan demikian, dimensi anthropocentris dan dimensi theocentris pada hakikatnya mewujudkan kesejahteraan anthropocentris. Rasa kemanusiaan yang terpisah dari rasa ketuhanan akan menjadikan manusia memberhalakan manusia. Makna sejati dari kemanusiaan itu sendiri terletak pada kebersamaannya dengan ketuhanan. Demikian juga rasa ketuhanan tidak akan memperoleh makna yang luhur bila tidak diikuti dengan rasa kemanusiaan.
Ada beberapa prinsip tentang manusia yang dapat dijadikan landasan bagi kepentingan pendidikan Islam yang humanis yaitu: pertama, manusia (peserta didik) adalah makhluk termulia yang melebihi makhluk-makhluk lain seperti malaikat, jin, setan, dan hewan. Karena itu, dalam proses pendidikan, para guru lebih mendahulukan strategi pembelajaran yang memanusiakan manusia daripada yang bersifat pemaksaan.
Kedua, manusia memiliki kemampuan berfikir dan permenungan. Ia dapat menjadikan alam sekitarnya sebagai objek renungan, pengamatan, dan arena tempat menimbulkan perubahan yang diingini. Manusia adalah makhluk yang mampu melakukan self-reflection, ia mampu keluar dari dirinya dan menengok ke belakang, kemudian mengadakan penelitian dan permenungan. Ketiga, ada perbedaan perseorangan. Yakni bahwa masing-masing manusia memiliki ciri khas tersendiri berdasarkan potensi yang dimilikinya, baik lahir maupun batin. Menelaah manusia hanya pada satu sisi, akan membawa pada stagnasi pemikiran tentang manusia, sekaligus menjadikannya obyek yang statis.
Keempat, manusia dalam kehidupannya dipengaruhi dan bersosialisasi dengan faktor-faktor bawaan dan alam lingkungan, terutama lingkungan sosial. Manusia membutuhkan sosialisasi di antara mereka. Hubungan antar manusia didasari oleh hubungan kekhalifahan, kebaikan, dan egaliter. Manusia lain dipandang sebagai pribadi yang harus dipersilakan mengembangkan dirinya. Kelima, Manusia dalam kebebasannya mengolah spiritualitasnya untuk dapat menyadari eksistensi Tuhan. Menyadari eksistensi Tuhan akan melahirkan tanggung jawab kepada Sang Ilahi. Menurut Andreas Harefa, lahirnya tanggung jawab itu karena didorong oleh adanya kesadaran mengenai hakikat diri sebagai makhluk langit, makhluk moral spiritual (moral spiritual being) dan tidak hidup hanya untuk minum dan makan.
Pendidikan bukan hanya memberikan keleluasaan terhadap pengabdian spiritual, melainkan yang lebih penting lagi harus memungkinkan terselesaikannya berbagai peristiwa tragis kemanusiaan seperti penindasan, pembodohan, teror, radikalisme, keterbelakangan, dan permasalahan lingkungan. Agar wacana kemanusiaan tanpa kekerasan tetap dikedepankan dalam pendidikan, kurikulum harus menyajikan materi yang memungkinkan bagi tumbuhnya sikap kritis bagi peserta didik.
B. Cinta dan Persaudaraan
Dua hal yang mendasari dan menjiwai usaha-usaha mengarahkan jiwa-jiwa yang gelisah ini menuju cerahnya masa depan adalah cinta dan persaudaraan. Pendekatan represif, apalagi militeristik, hanya akan memperkeruh jiwa yang gelisah itu. Arah solusi ini adalah membentuk pribadi yang sehat, integral, purnawan, utuh karena dengan modal ini tidak mungkin ada tawuran.
Sebenarnya, dengan modal pikiran formal-operasional, sesuai dengan Piget, kaum muda dapat diarahkan kepada pola-pola pemecahan masalah yang positif. Caranya, adalah dengan memberikan mereka kesempatan bertanggungjawab. Mereka harus diikutsertakan dalam organisasi seperti OSIS, Karang Taruna, serta berbagai kegiatan positif lainnya misalnya, pencinta alam, perkumpulan teater, lomba band. Dengan begitu, mereka akan belajar menjadi lebih dewasa dan bijaksana. Selain itu, mereka akan belajar bahwa eksistensi mereka itu diakui; mereka akan merasa diperhatikan. Mereka akan belajar bersama-sama dalam menghadapi masalah dan rintangan yang muncul dan menyelesaikannya dengan bijaksana. Tentu, ini pun membutuhkan pendampingan dari banyak pihak; orang tua, guru, sekolah.
Selanjutnya, dengan modal pertimbangan moral konvensional dang orientasi hukum dan ketertiban, menurut Kohlberg, kaum muda sebenarnya dapat mengarahkan dominasi usaha-usaha konformitas yang positif. Untuk mencapainya, diperlukan peranan mereka yang telah dewasa dalam pertimbangan moral, misalnya orang tua, guru, sesepuh di lingkungan, pembimbing organisasi dsb. Peranan mereka adalah mengarahkan. Mengarahkan dalam artian menunjukkan jalan, bukannya memerintah; berperan sebagai seorang sahabat bukannya formator.
Solusi ini juga berkaitan erat dalam menjawab pertanyaan who am I yang selalu membayang dalam benak mereka. Dalam membantu para muda ini mencapai identitas yang sehat, diperlukan pendekatan sebagai sahabat. Dalam pendampingan, perlu dikembangkan suasana yang aman sehingga dapat meringankan beban yang ada serta suasana penuh kepercayaan sehingga kaum muda dapat jujur. Keadaan yang tanpa bbeban dan jujur akan sangat membantu proses pengarahan. Pembentukan identitas yang sehat akan membuat mereka terlepas dari identitas negatif.
Dalam lingkungan sosial, tanggungjawab pendidikan kaum muda berada di tangan semua elemen masyarakat. Pendidikan di sini senada dengan pendapat Driyarkara, bahwa pendidikan itu memanusiakan manusia muda. Ingat bahwa pendidikan bukan hanya mengutamakan segi kognitif dan psikomotorik saja, tapi juga afektif. Justru dengan memperhatikan afeksi, kaum muda akan mencapai identitas yang sehat.
Untuk institusi sekolah, janganlah menekan siswa dengan berbagai tuntutan yang berlebihan. Begitu pula dengan orang tua. Bahkan Philomena Aqudo mengungkapkan bahwa kaum muda jangan diberikan tantangan yang terlalu berat karena hal itu justru dapat merusak disiplin diri. Sebaliknya, perhatikan dan kembangkan kompetensi tiap pribadi. Dengan begitu, ia akan dapat mengembangkan dirinya dalam kegiatan yang positif; ia tidak sempat ikut tawuran. Mitos bahwa kelas III-IPA adalah kelas unggulan harus ditepis. Bila seorang muda mampu dan berminat di kelas IPS, biarkanlah mereka! Sebaliknya senada dengan yang diungkapkan tadi, sekolah harus mengembangakan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan positif yang melibatkan kaum muda, apalagi, jika melibatkan sekolah lain, misalnya pentas seni bersama, lomba-lomba, merayakan HUT sekolah, dsb. Di sini, kaum muda akan memperkaya interaksi sosial yang mungkin kurang didapat di dalam keluarga sehingga akan lebih baik dalam bersosialisasi.
Senasib dengan lingkungan sekolah, pada lingkungan masyarakat perlu pula dibangun organisasi dan kegiatan-kegiatan yang menampung aspirasi dan semangat muda. Pemerintah diharapkan dapat memberikan sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
Program bimbingan dan penyuluhan pun harus dikembangkan dalam lingkungan sekolah. Peran seorang guru BP sangat penting. Karenanya, penugasan guru BP tidak boleh asal-asalan. Guru BP haruslah orang yang mampu berinteraksi dengan luwes dengan kaum muda, tanpa meninggalkan tugasnya dalam mengarahkan siswanya.
Dengan menjalankan solusi-solusi ini, seorang muda akan merasa dicintai dan diperhatikan. Ia akan mengalami indahnya persaudaraan dan kedamaian. Kegelisahan-kegelisahan itu pun sirna. Dan bertitik tolak dari ini, tidak akan terpikir dalam benaknya untuk melakukan tawuran. Kaum muda ini butuh bimbingan dari mereka yang lebih dewasa dan mapan. Kita membutuhkan mereka untuk membangun negara dan bangsa ini kelak. Jangan biarkan mereka mengekspresikan kegelisahan mereka dalam bentuk tawuran!
C. Melibatkan pihak-pihak terkait
1. Bullying harus dilihat sebagai suatu masalah oleh semua pihak: guru, orangtua dan murid baik korban,pelaku, maupun murid lain yang tidak terlibat (silent majority)
2. Sekolah harus mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya bullying. Pendekatan preventif mencakup diantaranya mengetengahkan topic bullying ini kepada murid dan orangtuanya, dan kemudian menerapkan peraturan.
3. Jika tindakan preventif kurang dan bullying muncul, guru harus bisa menangkap situasi tersebut dan mengambil sikap jernih untuk mengatasinya.
4. Bullying harus dinyatakan sebagai sesuatu yang jelas
5. Jika berbagai cara untuk menekan bullying ini masih kurang, dan bullying muncul lagi, maka sekolah harus memiliki pendekatan langsung (kuratif) untuk mengatasinya.
6. Jika sekolah atau seorang guru menolak untuk mengatasi masalah tersebut, atau jika masalah diselesaikan dengan cara yang salah, atau cara yang dilakukan tidak memberikan dampak apapun, maka seorang konselor harus didatangkan. Atas permintaan orantua dari anak yang menjadi korban, konselor ini harus menyampaikan keluhan tersebut kepada Dewan Pengaduan (Complaints Committee) yang akan menyelidiki masalah dan memberikan saran kepada pihak-pihak berwenang untuk menilai tindakan apa yang akan dilakukan.
D. Mengoptimalkan Peranan Guru
WF Connell (1972) membedakan tujuh peran seorang guru yaitu (1) pendidik (nurturer), (2) model, (3) pengajar dan pembimbing, (4) pelajar (learner), (5) komunikator terhadap masyarakat setempat, (6) pekerja administrasi, serta (7) kesetiaan terhadap lembaga.
Peran guru sebagai pendidik (nurturer) merupakan peran-peran yang berkaitan dengan tugas-tugas memberi bantuan dan dorongan (supporter), tugas-tugas pengawasan dan pembinaan (supervisor) serta tugas-tugas yang berkaitan dengan mendisiplinkan anak agar anak itu menjadi patuh terhadap aturan-aturan sekolah dan norma hidup dalam keluarga dan masyarakat. Tugas-tugas ini berkaitan dengan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak untuk memperoleh pengalaman-pengalaman lebih lanjut seperti penggunaan kesehatan jasmani, bebas dari orang tua, dan orang dewasa yang lain, moralitas tanggungjawab kemasyarakatan, pengetahuan dan keterampilan dasar, persiapan.untuk perkawinan dan hidup berkeluarga, pemilihan jabatan, dan hal-hal yang bersifat personal dan spiritual. Oleh karena itu tugas guru dapat disebut pendidik dan pemeliharaan anak. Guru sebagai penanggung jawab pendisiplinan anak harus mengontrol setiap aktivitas anak-anak agar tingkat laku anak tidak menyimpang dengan norma-norma yang ada.
Peran guru sebagai model atau contoh bagi anak. Setiap anak mengharapkan guru mereka dapat menjadi contoh atau model baginya. Oleh karena itu tingkah laku pendidik baik guru, orang tua atau tokoh-tokoh masyarakat harus sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat, bangsa dan negara. Karena nilai nilai dasar negara dan bangsa Indonesia adalah Pancasila, maka tingkah laku pendidik harus selalu diresapi oleh nilai-nilai Pancasila.
Peranan guru sebagai pengajar dan pembimbing dalam pengalaman belajar. Setiap guru harus memberikan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman lain di luar fungsi sekolah seperti persiapan perkawinan dan kehidupan keluarga, hasil belajar yang berupa tingkah laku pribadi dan spiritual dan memilih pekerjaan di masyarakat, hasil belajar yang berkaitan dengan tanggurfg jawab sosial tingkah laku sosial anak. Kurikulum harus berisi hal-hal tersebut di atas sehingga anak memiliki pribadi yang sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dianut oleh bangsa dan negaranya, mempunyai pengetahuan dan keterampilan dasar untuk hidup dalam masyarakat dan pengetahuan untuk mengembangkan kemampuannya lebih lanjut.
Peran guru sebagai pelajar (leamer). Seorang guru dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan agar supaya pengetahuan dan keterampilan yang dirnilikinya tidak ketinggalan jaman. Pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai tidak hanya terbatas pada pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan tugas profesional, tetapi juga tugas kemasyarakatan maupun tugas kemanusiaan.
Peran guru sebagai setiawan dalam lembaga pendidikan. Seorang guru diharapkan dapat membantu kawannya yang memerlukan bantuan dalam mengembangkan kemampuannya. Bantuan dapat secara langsung melalui pertemuan-pertemuan resmi maupun pertemuan insidental.
Peranan guru sebagai komunikator pembangunan masyarakat. Seorang guru diharapkan dapat berperan aktif dalam pembangunan di segala bidang yang sedang dilakukan. Ia dapat mengembangkan kemampuannya pada bidang-bidang dikuasainya.
Guru sebagai administrator. Seorang guru tidak hanya sebagai pendidik dan pengajar, tetapi juga sebagai administrator pada bidang pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu seorang guru dituntut bekerja secara administrasi teratur. Segala pelaksanaan dalam kaitannya proses belajar mengajar perlu diadministrasikan secara baik. Sebab administrasi yang dikerjakan seperti membuat rencana mengajar, mencatat hasil belajar dan sebagainya merupakan dokumen yang berharga bahwa ia telah melaksanakan tugasnya dengan baik.
E. Mengoptimalkan Peran Kepala Sekolah
• Mengkoordinir segenap kegiatan yang diprogramkan dan berlangsung di sekolah, sehingga pelayanan pengajaran, latihan, dan bimbingan dan konseling merupakan suatu kesatuan yang terpadu, harmonis, dan dinamis.
• Menyediakan prasarana, tenaga, dan berbagai kemudahan bagi terlaksananya pelayanan bimbingan dan konseling yang efektif dan efisien.
• Melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program, penilaian dan upaya tidak lanjut pelayanan bimbingan dan konseling.
• Mempertanggungjawabkan pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah.
• Memfasilitasi guru pembimbing/konselor untuk dapat mengembangkan kemampuan profesionalnya, melalui berbagai kegiatan pengembangan profesi.
• Menyediakan fasilitas, kesempatan, dan dukungan dalam kegiatan kepengawasan yang dilakukan oleh Pengawas Sekolah Bidang BK.
F. Mengoptimalkan Peran Wali Kelas
• Sebagai pengelola kelas tertentu dalam pelayanan bimbingan dan konseling, Wali Kelas berperan :
• Membantu guru pembimbing/konselor melaksanakan tugas-tugasnya, khususnya di kelas yang menjadi tanggung jawabnya;
• Membantu Guru Mata Pelajaran melaksanakan peranannya dalam pelayanan bimbingan dan konseling, khususnya di kelas yang menjadi tanggung jawabnya;
• Membantu memberikan kesempatan dan kemudahan bagi siswa, khususnya dikelas yang menjadi tanggung jawabnya, untuk mengikuti/menjalani layanan dan/atau kegiatan bimbingan dan konseling;
• Berpartisipasi aktif dalam kegiatan khusus bimbingan dan konseling, seperti konferensi kasus; dan
• Mengalihtangankan siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling kepada guru pembimbing/konselor.
BAB III
KESIMPULAN
Kekerasan pendidikan masih sering dijumpai dalam pendidikan kita. Berbagai kasus yang diungkap dalam penelitian ini adalah bukti nyata hal di atas. Agar pendidikan berjalan tanpa kekerasan, maka perlu dipertimbangkan pendidikan nilai yang efektif, penerapan metode pembelajaran yang humanis, dan internalisasi nilai-nilai Islam, moral dan budaya nasional dalam keseluruhan proses pendidikan. Untuk itu, pemahaman yang cukup tentang pendidikan yang humanis perlu diketahui semua pihak yang terlibat dalam pendidikan.
Dengan menjalankan solusi-solusi Cinta dan Persaudaraan ini, seorang muda akan merasa dicintai dan diperhatikan. Ia akan mengalami indahnya persaudaraan dan kedamaian. Kegelisahan-kegelisahan itu pun sirna. Dan bertitik tolak dari ini, tidak akan terpikir dalam benaknya untuk melakukan tawuran. Kaum muda ini butuh bimbingan dari mereka yang lebih dewasa dan mapan. Kita membutuhkan mereka untuk membangun negara dan bangsa ini kelak. Jangan biarkan mereka mengekspresikan kegelisahan mereka dalam bentuk tawuran!
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Fattah Jalal, Min al-Ushûl al-Tarbiyyah fî al-Islâm, t. tp., 1977.
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, terj. Jamaludin Miri, Jilid 1, Pustaka Amani, Jakarta, 1994.
Abrasyi al. M. Athiyah, Rûh al-Tarbiyyah wa al-Ta’lîm, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Mesir, t.t.
Alia Ali Izetbegovic, Islam antara Timur dan Barat, Pustaka, Bandung, 1993.
Andrias Harefa, Menjadi Manusia Pembelajar, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2001.
Armada Riyanto, F., Agama Anti Kekerasan, Dioma, Malang, 2000.
Bambang Sudibyo, “Pendidikan Akhlak Makin Penting”, dalam Bernas, Yogyakarta, PT. Bernas, 7 Oktober 2002.
Buchori, Mochtar, Spektrum Problematika Pendidikan di Indonesia, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1994.
Darminta, J. SJ., Mengubah Tanpa Kekerasan, Kanisius, Yogyakarta, 1993.
http://pakguruonline.pendidikan.net/buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_154.html
http://www.pontianakpost.co.id
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
halahhhh ...
BalasHapusayo man masukin semua tugas kuliah biarr gw saliinnn
hahahaha